Review Ngenest Movie
Salah satu yang ramai dibicarakan jelang tutup tahun 2015 adalah film Ngenest,
sebuah film yang diangkat dari trilogi personal literature karya
komika papan atas Indonesia: Ernest
PrakasaFilm Ngenest bercerita tentang kehidupan Ernest Prakasa dari TK sampai dewasa. Kehidupan Ernest kecil dan Ernest remaja yang diwarnai pem-bully-an, menjadi faktor penting dalam semua keputusan yang Ernest dewasa buat. Dua keputusan penting yang coba diangkat oleh film ini adalah memilih pasangan dan punya anak.
Secara garis besar, film ini seperti terbagi menjadi 2 babak besar. Babak pertama adalah kisah tentang Ernest remaja, yang diperankan dengan apik oleh seleb-Youtube: Kevin Anggara. Ditemani oleh sahabat karibnya, Patrick remaja (Brandon Salim), kita dibawa menyusuri pengalaman-pengalaman pahit Ernest akibat di-bully oleh teman-teman sekolahnya karena perbedaan ras.
Sementara babak kedua adalah cerita Ernest dewasa. Di bagian ini, kita disajikan perjalanan Ernest bertemu dengan Meira, menikah (juga dengan Meira), dan berumah tangga (masih dengan Meira). Eits, jangan bilang gua spoiler. Karena fakta-fakta tadi bisa kalian temukan juga kok di trailer filmnya.
Waktu ngeliat trailer-nya, gua emang sempat bingung. Ketika alur cerita dan kemungkinan ending-nya udah dijembrengin di trailer, apa lagi yang harus kita harapkan dari filmnya? Apa kita hanya diminta untuk menikmati proses berceritanya yang luar biasa, atau akan ada plot twist yang memutar balik alur cerita dengan fenomenal?
Namun ternyata, Ngenest bisa memberikan gua lebih dari 2 hal di atas. Karena ada satu premis lagi yang coba diangkat dari film ini, yang menurut gua, believable dan bisa relate ke banyak orang.
Tapi mari abaikan keinginan gua untuk membocorkan premis terakhir itu. Selain karena belom ridho diarak massa, gua lebih ingin membahas film ini dari sisi yang lain. Sisi komedinya, misalnya.
Karena film ini disutradarai dan ditulis oleh Ernest sendiri, berasa banget kalo elemen komedinya emang dipikirin baik-baik. Timing dan penempatan jokes-nya pas. Disisipkan di adegan dengan halus dan ga keliatan dipaksakan. Semua dialog dan selipan leluconnya mengalir, bak obrolan sehari-hari.
Nonton Ngenest itu layaknya nonton stand up special seorang komika dengan teknik yang komplit. Jurus-jurus menulis dan menyusun bit tumpah ruah di sepanjang film ini. Contohnya, callback bit penyanyi nikahan Om Hengky di bagian akhir, yang bikin penonton sestudio ngakak sekencangnya. Bit-bit bintang lima juga ditempatkan padat di bagian pamungkas, membuat penonton keluar dari studio dengan senyum yang lebar dan memori yang bagus akan film ini. Sebuah langkah yang brilian.
Jejeran komika yang menjadi pemeran pendukung juga makin melekatkan label komedi di Ngenest. My favorite actor, Muhadkly Acho, jadi dokter kandungan berlogat Bugis yang, untuk kesekiankalinya, jadi scene stealer. Jumlah scene Acho kayaknya ga lebih dari lima, tapi selalu memorable tiap kali dia muncul dan melepaskan gimmick pada dialognya.
Namun piala pemenang scene stealer kali ini harus gua sematkan ke duet Awwe dan Adjis. Mereka berperan sebagai Jaya dan Abdul, dua teman kos Ernest yang sering muncul tanpa diduga dan selalu membawa celetukan-celetukan khas anak warung. Saking kocaknya, begitu keluar dari bioskop, gua langsung membayangkan betapa kerennya kalo ada film dengan judul “Jaya & Abdul” suatu hari nanti.
Lalu gimana akting Ernest sendiri?
Chemistry-nya dengan pemeran Meira, Lala Karmela, terlihat alami. Rasanya kayak mereka ini beneran emang udah kenal lama. Akting Ernest saat kasmaran juga oke. Senyum-senyum girang sendirian dan konsisten. Persis kayak anak kuliahan yang lagi kesengsem gebetan baru. Ernest is a good actor. Prediksi gua, dalam satu atau dua Imlek lagi, muka Ernest bakal nongol di Cek n Ricek untuk ditanya gimana persiapan Imleknya, menggantikan posisi Delon atau Tina Toon.
Pun dengan pemeran Patrick dewasa. Keakrabannya dengan Morgan Oey betul-betul terlihat seperti dua sohib Cina yang udah lama berkawan. Itu terbukti dari pemilihan kata-kata yang lugas namun natural. Kata-kata yang emang biasa keluar dari dialog dua teman ras Cina yang sedang ngobrol di balik pintu tertutup.
Menurut gua, yang kurang ngena cuma saat Ernest beradegan sedih. Entah karena persona komikanya yang terlalu kenceng, atau emang aktingnya yang kurang kuat, yang bikin sedihnya kayak ga nyampe ke gua.
Kekurangan lain dari film ini adalah premis berlapis yang bikin gua bingung dan bertanya-tanya di sepanjang babak pertama. Mungkin karena babak pertamanya yang terlalu panjang, ketika sebetulnya bisa diperpendek atau dibuat seperti flashback di sela-sela babak kedua.
Atau mungkin karena premis besarnya baru muncul di babak kedua. Karena awalnya, gua kira ini cerita soal gimana melepaskan diri dari bully, eh ternyata ga juga. Lalu gua sangka ini tentang perjuangan merebut hati orang tua Meira, eh bukan itu. Alih-alih, ada satu premis manis yang menjadi payung dari itu semua, yang baru gua sadari hampir di penghujung film.
Dari segi pengembangan konflik, U-turn sikap Ernest juga terlalu cepat. Hanya butuh beberapa menit dan bantingan pintu bajaj, untuk membuat Ernest mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Hanya perlu hitungan menit dan teriakan Patrick, agar Ernest bisa berubah menjadi apa yang Meira inginkan selama ini.
But, hey, it’s a comedy movie.
Pada akhirnya, semua kekurangan itu bisa termaafkan dari banyaknya tawa yang tertuai di sepanjang film. Semua itu masih bisa dimaklumi berkat casting yang jitu dan akting pemainnya yang ciamik. Semua itu menjadikan Ngenest sebuah karya debut garapan Ernest Prakasa yang sayang untuk dilewatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar